Cara Efektif Menghadapi Fasa Lonjakan Emosi Toddler

Setiap fasa pada tumbuh kembang anak pasti ada tantangannya masing-masing. Baik untuk Si Anak mau pun bagi pengasuhnya, dalam konteks saya adalah ibu (saya sendiri). Jadi, jika beberapa kelompok orang mengkhususkan tahun tertentu dengan pelabelan tertentu, menurut saya sih kurang pas. Misalnya, trouble two, atau trouble four, yang diartikan bahwa anak pada usia tersebut cenderung lebih ‘bertingkah’ dan menguji nyali pengasuhnya. Karena kenyataannya, setiap perubahan pasti akan membutuhkan effort penerimaan, betul?

Begitu juga dengan Anis. Seperti kebanyakan anak usia empat tahun, Anis pun sedang mengalami lonjakan pesat pertumbuhan emosionalnya. Yang tentu saja, tak mudah juga bagi dia untuk bisa endure dengan perubahan yang besar dan cepat ini. Sehingga, tak jarang terjadi ‘letupan’ emosi sebagai bentuk self-adjustment dia terhadap lonjakan yang ia rasakan di dalam dirinya, dan ia sendiri belum cukup matang untuk mengendalikannya.

Tantrum, cenderung keras kepala, tidak mudah mendengarkan perkataan orang lain, suka melakukan apa yang biasanya dilarang, mungkin beberapa macam bentuk letupan tersebut. Dan untuk beberapa anak, seperti Anis salah satunya, mereka akan lebih sulit diajak beristirahat (tidur). Seolah tidak pernah habis energinya, dan juatru semakin ‘aktif’ saat lelah.

Kondisi ini memang menjadi hal tak mengenakan untuk mereka sebenarnya. Namun, tak bisa dipungkiri, menjadi masa yang berat untuk ibu/pengasuhnya juga. We are just human being, tidak bisa stabil secara emosional dengan konstan. Walau pun jika kita mau cermati, ternyata kondisi tidak stabilnya kita itu pasti dipengaruhi oleh faktor tertentu yang sebenarnya bisa kita kondisikan agar bisa mendapatkan jalan tengahnya.

Saya pun pernah (dan masih) berada pada fasa itu. Menghadapi Anis dengan lonjakan emosinya, jujur memang bukan hal mudah. Semua berproses. Anis berproses, saya pun ikut berproses. Kami bersama-sama meng-adjust segala bentuk perubahan yang terjadi. Ya, benar! Kami! Saya dan Anis.

Kali ini, saya akan berbagi sedikit tentang cara saya berproses menghadapi anak dengan lonjakan pertumbuhan emosionalnya. Here five points:

Memberi ruang dan waktu bagi anak untuk meluapkan emosinya.

Dalam hal ini, saya membiarkan Anis untuk melepaskan semua emosi negatif yang sedang ia rasakan. Alih-alih menyuruhnya untuk diam (untuk tidak menangis, tidak berteriak, tidak memukul), saya justru memberikan fasilitas untuk membuat bejana emosinya luber dan kemudian mereda sendiri. Biarkan anak menangis. Jika anak berteriak, saya komunikasikan dari awal untuk berteriak di bekapan bantal, dan Anis akhirnya terbiasa untuk itu. Begitu pun saat memukul, saya alihkan dengan bola plastik untuk dilempar ke dinding atau bantal untuk ia pukul-pukul.

Sekali lagi, usia toddler belumlah usia matang secara emosi. Justru di usia ini mereka sedang belajar untuk mengenal emosinya, belum tahap belajar untuk menahannya. Maka, bantu mereka untuk mengenal segala macam emosi itu penting. Setelah mengenal, mereka akan lebih siap untuk belajar mengatur emosi-emosinya tersebut.

Membiarkan anak meluapkan emosi negatifnya merupakan salah satu bentuk cara pengenalan emosi bagi mereka, menurut saya.

Asal tidak sampai membahayakan dan tetap masih dalam batas kuasa kita sebagai orang tua untuk menanganinya.

Tidak perlu menasihati di saat anak sedang tantrum/sedang pada lonjakan emosi.

Ini yang sering saya terima saat mengikuti kelas parenting tentang tumbuh kembang anak atau pun buku-bukunya. Karena, secara spontan memang kita akan terpancing untuk mengomel, menasihati, memberi petuah segala macam, ketika anak sedang tantrum. Padahal, keyantaannya, anak tidak mendengarkan sama sekali apa yang kita sampaikan ketika berada pada masa itu. Yang mereka terima justru seperti respon bagi perilakunya, sehingga mereka akan semakin menjadi (karena merasa direspon oleh orang terdekatnya).

Dalam kondisi tersebut, tidak merespon adalah jalan terbaik. Cukup merespon berkenaan dengan fasilitas yang ia butuhkan saja saat itu, untuk memenuhi poin 1. Berikan bolanya jika ia mulai melempar-lempar barang, berikan bantalnya jika mereka mulai memukul, dst.

Namun, tak perlu kita memvalidasi emosinya saat itu, apalagi hingga menasihatinya. Karena yang didapatkan oleh kita hanya lelah dan kesal yang semakin menjadi saja (akibat tersulut).

Evaluasi dan validasi emosi anak setelah kondisi mereda dan suasana tenang.

Saya biasanya akan membahasnya ketika pillow talk sebelum tidur. “Anis tadi kenapa marah-marah? Anis kesel, ya? Gara-gara Anis mau main tapi hujan? Emang, sih, nggak bisa main itu bikin kesel, ya? Wajar juga Anis marah. Tapi, kalau marahnya sampe lempar mainan, bagus nggak itu? Kasian nggak sama ayah ibu yang udah beliin Anis mainannya?” Kurang lebih seperti itu narasi yang biasa saya gunakan. Validasi rasa – cari alasan emosi tersebut meluap – evaluasi. Dan pasti, sebelum tidur saya dan Anis akan saling meminta maaf dan berterima kasih, sehingga waktu tersebut saya anggap paling baik untuk mengevaluasi sesuatu, termasuk emosi.

Penuhi kebutuhan diri kita dulu.

Dalam kondisi tertentu saya akan merasa agak sulit untuk mendengarkan Anis. Misalnya, saat saya sedang terlalu lelah, atau kurang enak badan, atau lapar, atau kurang tidur, saya akan menjadi kurang siap menerima ‘kesalahan’ yang dilakukan oleh anak. Seperti bersumbu pendek, rasanya emosi saya akan lebih mudah tersulut. Sadar akan hal itu, maka saya usahakan untuk memenuhi kebutuhan diri saya sendiri dulu. Jika tengah hari saya merasa sangat mengantuk, saya akan izin kepada Anis untuk tidur meski hanya 10 menit. Begitupun saat lapar, atau sekadar butuh jeda sesaat. Saya biasa menenangkan diri di kamar mandi. Bukan egois, tapi justru saya melakukan itu agar saya lebih siap untuk membersamai Anis. Dan biasanya, setelah kebutuhan kita terpenuhi, sumbu kita akan memanjang dan lebih tenang menghadapi luar biasanya toddler kita.

Membangun komunikasi.

Komunikasi itu bersifat dua arah. Ada yang mendengar dan ada yang didengar. Maka, saya selalu membiasakan untuk membuat komunikasi itu berjalan sesuai definisinya. Saat Anis bicara, saya mendengarkan. Saat saya bicara, saya kenalkan Anis untuk bisa mendengarkan juga. Tidak selalu harus kita (orang tua) yang terus didengar. Anak pun butuh untuk didengarkan agar ia bisa mendengarkan juga.

Membangun komunikasi sedini mungkin itu adalah sebuah investasi jangka panjang. Karena, memupuk komunikasi yang efektif di usia lebih tua akan menjadi lebih sulit juga. Effort yang dibutuhkan akan semakin besar. Terlebih bonding kita dengan anak akan cenderung lebih merenggang dengan bertambahnya umur mereka.

Membersamai anak di setiap perkembangan dan pertumbuhan usianya pasti penuh tantangan. Dan pasti setiap orang tua memiliki cheat-nya masing-masing untuk bisa bertahan dengan semua tantangan tersebut.

Yakinkan, apa yang kita sebar dan tanam saat ini akan kita tuai di kemudian hari. Maka, siapkan benih yang baik, jaga dan olah proses bertumbuhnya dengan maksimal, insyaAllah kita akan mendapatkan hasil panen yang baik juga. Jangan lupa untuk selalu meminta kemudahan-Nya pada setiap langkah yang sedang kita usahakan.

Similar Posts

31 Comments

  1. Hi i think that i saw you visited my web site thus i came to Return the favore Im attempting to find things to enhance my siteI suppose its ok to use a few of your ideas

  2. I don’t think the title of your article matches the content lol. Just kidding, mainly because I had some doubts after reading the article.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *